Pemerintah akan melarang penggunaan dan ekspor kratom mulai tahun 2024. Jangka waktu tersebut untuk memberikan kesempatan kepada para petani kratom beralih menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang sama dengan tanaman kratom.
Koordinator Tim Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol (Pur) Ahwil Luthan mengatakan larangan kratom di tahun 2024, dikarenakan pemerintah tidak mau mematikan rakyat yang telah menjadi petani kratom dan mendapatkan penghasilan dari tanaman tersebut.
“Dari hasil beberapa pertemuan, direncanakan (pelarangan) 2024. Soalnya kita tidak mau mematikan rakyat kita juga. Karena rakyat dulu banyak mendapatkan uang dari pohon ini,” kata Ahwil Luthan dalam Lunch Talk: Jangan Legalkan Kratom.
Diungkapkan, permintaan tertinggi Kratom justru berasal dari Amerika Serikat (AS). Padahal, BPOM AS (FDA) telah menyatakan tanaman kratom tidak boleh dipakai sebagai suplemen makanan.
“Kami mendapatkan kabar, beberapa tahun ini ekspor dari Kalimantan Barat cukup tinggi. Setelah dua sumber opium di dunia diberantas habis. Jadi ini adalah pengganti opium,” ujar Ahwil.
Tingginya permintaan ekspor kratom, ungkap Ahwil membuat posisi Indonesia menjadi serba salah dan tidak enak. Mengingat banyak negara di ASEAN, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam telah melarang penggunaan kratom di negara mereka.
Apalagi, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika tidak memasukkan kratom sebagai jenis narkotika.
“Jadi belum ada (larangan) di Indonesia. Jadi kita masih memberikan waktu sampai 2024. Kenapa, kita tidak mau terjadi dampak sosial yang mengganggu petani-petani. Kalau kita langsung berantas dan musnahkan pohon-pohon di sana, petaninya makan apa? Jadi kita beri kesempatan sekian tahun supaya mereka bisa merubah jenis tanamannya yang nilainya hampir sama,” jelas Ahwil Loetan.
Untuk pelaksanaan pelarangan ini, dilakukan pembahasan bersama yang tidak hanya melibatkan BNN, BPOM dan Kementerian Kesehatan, tetapi juga Kementerian Perindustrian karena kratom digunakan untuk industri, Kementerian Perdagangan terkait ekspor dan BPPT yang dapat meneliti apakah kratom mempunyai manfaat lain yang membawa kemashlahatan umat manusia.
“Makanya, pemerintah kita tidak mau secara cepat-cepat seperti negara-negara ASEAN lainnya langsung melarang kratom sebagai narkotika,” tutur Ahwil.
Ditambah lagi, United Nation Office Drug and Crime (UNODC) tidak memasukkan kratom ke dalam Single Convention 1961. Didalam konvesi ini, hanya diakui tiga tanaman narkotika yaitu opium, mariyuana dan Koka.
“UNODC tidak memasukkan kratom kedalam Single Convention on Narcotics Drugs tahun 1961. Mereka memasukkan kratom kepada NPS, dianggap sebagai jenis baru dari psychoactive juga. Nah begitu melihat ketentuan UNODC, negara-negara lain langsung memasukkan kratom kedalam jenis narkorika. Sedangkan Indonesia berpikirnya perlahan, karena penduduknya besar, jadi harus berpikir rasional,” ungkap Ahwil.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Laka Lena menegaskan kratom tetap harus dipertahankan dalam penggunaannya sebagai obat tradisional yang sudah digunakan secara turun temurun oleh rakyat Indonesia. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa langsung melarang dan menghilangkan kratom begitu saja.
“Untuk argumentasi saja, Thailand menggunakan ganja sebagai metode pengobatan tertentu dengan pola tertentu. Bahkan menerima pasien dari luar negeri untuk diobati dengan ganja. Mungkin ini tidak hanya berlaku untuk kratom saja, tetapi juga berlaku untuk semua jenis obat tradisional kita,” kata Melki Laka Lena.
Menurutnya, jika dikembangkan dengan baik sebagai obat, kratom akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Namun, Melki mengingatkan apapun namanya obat harus ada dosis, takaran dan cara pakai yang tepat. Hal ini yang membedakan obat dan racun.
“Kalau kita bisa atur kratom ini dengan baik dari aspek pengobatan yang turun menurun, itu baik. Jadi harus ada regulasinya. Tapi kalau dipakai dalam bentuk kategori membahayakan seperti morfin, itu tidak boleh. Jadi dibuat regulasi yang baik agar jangan sampai kebablasan. Untuk membuat regulasi ini harus melibatkan banyak lembaga,” tegas Melki Laka Lena.