Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengusulkan agar anggaran untuk Program Organisasi Penggerak (POP) sebanyak Rp595 miliar dapat dialihkan untuk pengadaan titik hotspot internet gratis bagi pelajar dan mahasiswa.
“Alihkan saja setengah triliun itu untuk 52,5 juta pelajar dan mahasiswa di seantero negeri ini agar gratis mengakses pembelajaran daring,” kata Fikri Faqih dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, kontroversi program organisasi penggerak (POP) yang digagas Mendikbud Nadiem Makariem telah membuat gaduh di masyarakat, dan memicu gelombang protes dari beragam kalangan.
Untuk itu, ia merekomendaskan agar daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) khusus POP direvisi menjadi program lain.
“Usulan saya adalah mengadakan hotspot internet gratis yang tersebar di tiap RW, minimal kantor desa/ kelurahan, khususnya untuk pelajar dan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 52,5 juta orang,” katanya.
Fikri menambahkan, program ini disesuaikan dengan kondisi pandemi yang masih berlangsung, yakni tetap dalam protokol kesehatan ketat, serta pelaksanaannya bisa dilakukan bergantian atau sesuai jadwal sekolah.
Di samping itu, ujar dia, pengadaan banyak titik hotspot bertujuan agar mengurangi konsentrasi massa yang berkumpul.
“Idealnya di tiap RW ada, atau dipecah lagi menjadi beberapa titik, misalnya tiap RT ada hotspot, hal ini bisa saja kombinasi antara dana pemerintah sebagai stimulus dengan swadaya masyarakat di lingkungan tersebut,” ujar Fikri.
Sebagaimana diwartakan, Katib Aam Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan pihaknya tetap mengikuti Program Organisasi Penggerak (POP) setelah ada klarifikasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Gus Yahya menemui Mendikbud Nadiem Makariem, Kamis, untuk menyampaikan sikap PBNU terkait keikutsertaan dalam program POP.
Gus Yahya mengatakan pertemuannya dengan Mendikbud atas persetujuan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Pertemuan dua pihak itu mendiseminasikan hasil rapat PBNU pada Selasa (4/8), soal kelanjutan mengikuti POP.
Dia mengatakan keputusan PBNU itu menimbang dua hal klarifikasi dari Kemendikbud soal POP.
“Pertama, bahwa POP bukan program yang bersifat akar rumput tapi lebih bersifat laboratorial. Memang sudah ada klarifikasi dari Mendikbud sebelumnya bahwa dengan POP ini sebenarnya Kemendikbud hanya bermaksud membeli model inovasi dari berbagai pihak yang menawarkan gagasan,” katanya.
Klarifikasi kedua, kata dia, pelaksanaan POP dimulai bulan Januari 2021 yang akan datang sehingga ada waktu yang cukup untuk menuntaskan kendala pelaksanaan program sepanjang tahun.
“Kami mendukung upaya Mendikbud untuk mengambil langkah-langkah kongkrit sebagai jalan keluar dari kesulitan-kesulitan masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Kami juga mendukung upaya-upaya pembaruan untuk memperbaiki kapasitas sistem pendidikan kita dalam menjawab tantangan masa depan. Tentu saja sambil tetap kritis terhadap kekurangan-kekurangan yang ada,” kata Gus Yahya. (Ant)