BONDOWOSO – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan pesantren adalah institusi yang paling konkret dalam memberikan sumbangsih bagi perjalanan bangsa. Sumbangsih itu telah dilakukan sebelum kemerdekaan, hingga mempertahankan kemerdekaan.
 
“Dulu, di era sebelum kemerdekaan, pondok pesantren adalah prototype dari masyarakat madani. Sebab, selain pondok pesantren hidup mandiri, juga menjadi solusi bagi masyarakat di sekitarnya,” ujar LaNyalla, saat menghadiri peletakan batu pertama pembangunan Gedung Serbaguna STAI Al-Utsmani di Jambesari, Bondowoso, Senin (24/10/2022).

LaNyalla yang hadir bersama Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Prof. Dr. Drs. H. Abdul Muis Tabrani MM, juga memberikan wawasan tentang kebangsaan.

Hadir dalam kesempatan itu Pimpinan STAI Al Utsmani, Dr Ubaidilah Afif SPdi, MPdi, perwakilan Yayasan dan Majelis Keluarga Pondok Pesantren Salafiyah Al-Utsmani, jajaran dosen, santri, mahasiswa dan tamu undangan.

LaNyalla menjelaskan, pada masa lalu, pondok pesantren tidak hidup dari dana atau santunan Belanda. Tetapi hidup mandiri dari cocok tanam dengan semangat gotong royong santri dan masyarakat sekitar.
 
“Pondok pesantren menjadi solusi, misalnya jika ada yang sakit, minta doa ke kiai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok pesantren. Ada yang punya masalah, minta nasehat kiai, dan seterusnya,” papar dia.
 
Peran ulama dan kiai-kiai pengasuh pondok pesantren saat itu juga tidak bisa dihapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.

“Kita mengetahui bahwa tanggal 22 Oktober 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Santri, sangat bersejarah dalam konteks kemerdekaan. Pada hari itu, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratus Syeikh Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad di Surabaya. Yang kemudian diikuti dengan lahirnya Peristiwa 10 November 1945, yang juga kita peringati sebagai Hari Pahlawan,” ujar LaNyalla.

Kemudian peran para ulama dan kiai se-Nusantara dalam memberikan pendapat dan masukan kepada Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Salah satu anggotanya adalah Kiai Wahid Hasyim, yang merupakan putera dari Kiai Hasyim Asy’ari.
 
“Peran lain yang juga besar adalah sikap legowo para ulama dan kiai, yang demi keberagaman, setuju mengganti dan menghapus anak kalimat ‘Piagam Jakarta’ yang menjadi pembukaan UUD 1945, diganti dengan kalimat; ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’,” ucapnya.
 
Hingga hari ini pun, jika dibedah dari analisa Ideologi, Ekonomi, Sosial dan Budaya, menurut LaNyalla, sumbangsih pondok pesantren masih sangat nyata.

“Dari sisi ideologi jelas negara ini berdasar atas ketuhanan. Hal ini menjadi domain utama Pondok Pesantren sebagai penjaga akhlak dan adab serta moral generasi bangsa,” paparnya.
 
Dari sisi ekonomi, tambahnya, selain sebagai institusi mandiri, pondok pesantren saat ini sudah memasuki ruang ekonomi melalui koperasi dan usaha-usaha di beberapa sektor. Bahkan beberapa pesantren telah mencatat sukses mengembangkan sektor usaha, meski masih perlu diperluas skala bisnisnya.

Sementara itu, dari sisi sosial, pondok pesantren sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal telah teruji. Di tengah gencarnya arus globalisasi, pondok pesantren berperan sebagai penyeimbang, sekaligus penjaga moral anak bangsa.
 
“Dari sisi budaya, pondok pesantren masih menjadi garda terdepan lembaga pendidikan di Indonesia,” paparnya.
 
Menurut LaNyalla, semua itu peran yang besar dan fundamental. Belum lagi nilai-nilai adab dan budi pekerti yang diajarkan di pondok pesantren akan menjadi bekal bagi para alumni Santri dalam menjalani kehidupan di masyarakat.
 
Dengan berbagai peran ponpes dan ulama itu, LaNyalla berharap kalangan ulama dan santri memahami pemikiran-pemikiran Ulama terdahulu sehingga dapat ikut berupaya menata ulang Indonesia untuk lebih baik. (Adv)