MAKI Minta KPK Tindak Lanjuti Aduan Soal Proyek Kartu Prakerja

Jakarta  – Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti pengaduan MAKI soal proyek Kartu Prakerja tahun 2020 dengan anggaran Rp5,6 triliun.

“Tadi pukul 13.30-15.00 WIB, dengan tetap ikuti protokol COVID-19, saya telah datang ke KPK untuk menindaklanjuti permintaan pencegahan dugaan korupsi dalam proyek Kartu Prakerja yang dikerjasamakan dengan delapan perusahaan digital platform,” ujar Boyamin melalui keterangannya di Jakarta, Senin.

Dalam kedatangannya itu, ia mengaku bertemu dengan dua orang dari Tim Analis Pengaduan Masyarakat KPK dengan bentuk pendalaman materi disertai diskusi.

Pertama, ia meminta KPK sudah memulai melakukan proses penyelidikan atau setidaknya pengumpulan bahan/keterangan, dikarenakan saat ini telah ada pembayaran secara lunas program pelatihan peserta Kartu Prakerja gelombang I dan gelombang II.

“Artinya, jika ada dugaan korupsi misalnya dugaan mark up, maka KPK sudah bisa memulai penyelidikan atau setidak-tidaknya memulai pengumpulan bahan dan keterangan. Hal ini berbeda dengan permintaan kami sebelumnya yang sebatas permintaan pencegahan dikarenakan belum ada pembayaran pelatihan Kartu Prakerja,” ujarnya pula.

Kedua, kata dia, MAKI memberikan keterangan tambahan disertai contoh kasus perkara lain dugaan penunjukan delapan mitra platform digital yang diduga tidak sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam bentuk kerja sama.

“Penunjukan delapan mitra kerja sama pelatihan Kartu Prakerja diduga tidak melalui beauty contest, tidak memenuhi persyaratan kualifikasi administrasi, dan teknis karena sebelumnya tidak diumumkan syarat-syarat untuk menjadi mitra, sehingga penunjukan delapan mitra juga diduga melanggar ketentuan dalam bentuk persaingan usaha tidak sehat atau monopoli,” ujarnya pula.

Ketiga, ia menyatakan untuk harga pelatihan masing-masing delapan mitra dengan kisaran antara Rp200 ribu hingga Rp1 juta diduga terlalu mahal apabila didasarkan ongkos produksi materi bahan pelatihan, dan apabila dibandingkan dengan gaji guru atau dosen dalam melakukan proses belajar mengajar di kelas tatap muka.

“Juga lebih mahal lagi jika dibandingkan dengan pelatihan yang tersedia di Youtube atau browsing google yang praktiknya gratis dan hanya butuh kuota internet, mestinya delapan mitra sudah mendapat untung dari sharing kuota internet,” ungkap Boyamin.

Keempat terkait dugaan “mark up“, ia tetap menyodorkan argumen berdasarkan pendapat peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda yang menyebut delapan platform yang bekerja sama dengan pemerintah dalam menyediakan pelatihan Kartu Prakerja berpotensi meraup untung sebesar Rp3,7 triliun.

“Dengan pendapat ini, saya memberikan argumen bahwa keuntungan delapan mitra diduga sebesar 66 persen dari jumlah uang yang diterima mitra dari masing-masing biaya pelatihan Kartu Prakerja. BPK atau BPKP memberikan batasan keuntungan 20 persen, sehingga terdapat dugaan pemahalan harga sekitar 46 persen,” kata dia lagi.

Meskipun demikian, ia mengatakan perkiraan keuntungan itu masih perlu dihitung secara cermat masing-masing mitra, dikarenakan terdapat mitra yang memberikan diskon biaya pelatihan.

Kelima, ia menyatakan berkaitan dengan sumber dana dan manfaat pelatihan, MAKI memberikan masukan untuk dilakukan kerja sama dengan lembaga kampus bidang teknologi informasi dan “platform digital”.

“Terhadap masukan materi yang saya sampaikan di atas, pihak KPK akan menindaklanjuti sesuai kewenangan berdasar ketentuan yang berlaku, yang tentunya jika ditemukan indikasi, bukti, dan unsur korupsi akan diproses sebagaimana mestinya dan jika tidak ditemukan maka akan dihentikan,” ujar Boyamin.

Sebelumnya, MAKI pada Kamis (23/4) telah mengirimkan surat ke KPK meminta lembaga antirasuah itu ikut mengawal dan mencegah potensi korupsi atas proyek Kartu Prakerja. (Ant)