Semarang,manuver.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah menilai Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 mereduksi kewenangan MUI terkait dengan jaminan produk halal (JPH).
MUI Jateng dalam siaran pers yang diterima di Semarang, Minggu, menyatakan UU Ciptaker telah mengamputasi dua dari tiga kewenangan MUI terkait dengan JPH sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33/2014 tentang JPH.
Penilaian MUI tersebut disampaikan berdasarkann hasil Halaqoh Ulama MUI Jawa Tengah bertema “Peran dan Kewenangan MUI dalam UU Cipta Kerja” pada 30-31 Oktober 2020 di Semarang.
Halaqoh yang dibuka Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo serta dipimpin Ketum MUI Jawa Tengah Dr KH Ahmad Darodji, M.Si, diselenggarakan dengan protokol kesehatan ketat. Peserta sebanyak 50 orang, terdiri unsur MUI kabupaten/kota dan Jawa Tengah.
Darodji menegaskan salah satu kewajiban MUI melindungi dan menjaga umat Islam agar tidak mengonsumsi dan menggunakan produk yang tidak halal.
Menurut MUI Jateng, disahkannya UU Cipta Kerja mereduksi substansi halal sebagai urusan perizinan dan administrasi semata, sementara melahirkan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga dan melindungi umat Islam dari mengonsumsi dan menggunakan produk yang tidak halal.
“Pemerintah hendaknya memahami, hukum halal merupakan domain syariat Islam yang kewenangannya ada di tangan ulama. Untuk itu, turunan UU ini wajib mengacu kepada hal tersebut,” katanya menegaskan.
Rekomendasi halaqoh tersebut berisi tiga poin untuk diketahui publik. Selebihnya, MUI Jateng akan mengeluarkan rekomendasi yang bersifat teknis substansial terkait JPH sebagai bahan masukan kepada pemerintah agar dalam menyusun regulasi di bawah UU Cipta Kerja tidak melenceng dari syariat Islam.
Ia menjelaskan, secara esensial dalam UU Nomor 33/2014 terdapat tiga kewenangan MUI dalam regulasi JPH, yakni penetapan halal, sertifikasi auditor halal, dan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Dari tiga kewenangan tersebut yang masih dipertahankan dalam UU Cipta Kerja tinggal kewenangan dalam penetapan halal.
Dalam halaqoh berkembang, bila kewenangan MUI sebatas penetapan halal maka diasumsikan kewenangan tersebut sebatas administratif perizinan bukan substansi untuk menjamin kehalalan produk sesuai syariat Islam. Akibat perampingan kewenangan tersebut, menurut MUI Jateng, maka jaminan produk halal dikhawatirkan menjadi terabaikan sehingga akan memicu ketidakpercayaan umat Islam terhadap sertifikasi halal.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam sambutannya menyambut baik halaqoh ini sebagai metode memberi masukan terkait UU Cipta Kerja, sementara di banyak tempat mengekspresikan lewat demo bahkan ada yang bersemangat akan melengserkan pemerintah.
Sebagai Gubernur, Ganjar berjanji akan memenuhi harapan MUI Jawa Tengah untuk mendorong Pemerintah Pusat agar memperhatikan rekomendasi tersebut.
“Dalam merespons UU Cipta Kerja memang banyak yang tidak sabar dan tidak menata diri. Pedemo kebanyakan belum membaca utuh pasal demi pasal tapi sudah berteriak kencang bahkan ditunggangi isu hoaks,” kata Ganjar seperti dikutip dalam rilis MUI Jateng.
Gubernur meminta peserta halaqoh juga mengkaji secara jernih UU Cipta Kerja terkait JPH, agar kondusivitas umat terjaga mengingat masyarakat masih banyak yang belum paham.
“Cara komunikasi seperti halaqoh ini penting dalam menciptakan kondusivitas di masyarakat,” kata politikus PDIP tersebut.
Halaqoh menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain, Direktur LPPOM MUI Pusat Dr Lukmanul Hakim, Waketum MUI Jawa Tengah sekaligus Direktur LPPOM MUI Jawa Tengah, Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah, Dr KH Fadlolan Musyafak Lc MA. Kemudian Komisi Hukum MUI Jawa Tengah, Prof Dr KH Abu Rokhmad MA, serta Sekretaris Umum MUI Jawa Tengah Drs KH Muhyiddin MAg. (Ant)