Jakarta, manuver.com – Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat dijadikan batu uji dalam pengujian Undang-Undang Cipta Kerja.
“Pembacaan saya, pencermatan saya, itu lebih banyak membandingkan dengan undang-undang yang lama. Nah, kalau undang-undang yang lama kan bukan batu ujinya. Yang namanya batu uji itu UUD 1945,” tutur Arief Hidayat dalam sidang perdana pengujian Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) secara daring di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.
KSPI mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bersama Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPISI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP Farkes RI), sejumlah serikat pekerja lain dan perseorangan.
Arief Hidayat menyimpulkan permohonan itu memiliki tiga klaster pemohon, yakni konfederasi serikat pekerja, federasi serikat kerja serta pekerjanya dilihat dari kedudukan hukum yang disebutkan.
Para pemohon dikatakannya harus menguraikan kaitan masing-masing kedudukan hukum itu dengan kerugian konstitusional yang dialami akibat pasal yang diminta untuk diuji.
“Kalau saya baca, ini ketiga-tiganya dicampuradukkan dan saya punya kesan lebih banyak kerugiannya bukan kerugian konstitusional, tetapi lebih banyak menyangkut kerugian yang bersifat ekonomis,” tutur Arief Hidayat.
Ada pun para pemohon mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83 UU Cipta Kerja.
Hal-hal yang dipersoalkan dalam pasal-pasal tersebut adalah tenaga kerja asing, jaminan sosial, lembaga pelatihan kerja, pelaksanaan penempatan tenaga kerja, perjanjian kerja waktu tertentu, waktu kerja, pekerja alih daya, cuti, upah minimum dan pengupahan.
Selain itu, para organisasi pekerja itu mengkhawatirkan ketiadaan imbalan yang layak dan adil bagi pekerja/buruh dalam pemberian pesangon, uang penggantian hak dan upah penghargaan masa kerja karena terdapat beberapa frasa yang multitafsir yang berimplikasi pada hilangnya ketentuan besarnya jaminan hak pekerja/buruh halam pemutusan hubungan kerja dalam UU Cipta Kerja.
Selanjutnya terkait pemutusan hubungan kerja yang dinilai para pemohon dalam undang-undang tersebut membuat pengusaha menafsirkan secara bebas proses pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh sehingga rentan menimbulkan kesewenang-wenangan.
Dalam permohonan para pemohon, terdapat 92 permintaan terhadap Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU Cipta Kerja. (Ant)