Jakarta – PT. Bangkit Limpoga Jaya (BLJ) laporkan sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam Mafia Tambang di atas lahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT. BLJ, di Kabupaten Minahasa Tenggara. Hal ini ditegaskan kuasa Hukum PT. BLJ Dr. Duke Arie Widagdo, Kamis (7/7).
Kepada media, Duke menjelaskan bahwa sebagai investor yang beritikad baik, pihaknya telah memenuhi segala aturan yang berlaku sebelum melakukan kegiatan penambangan.
“Mulai dari perijinan, Feasibility Study (FS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB) sampai dengan kewajiban lainnya seperti pembayaran PNBP atas lahan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kurang lebih sebesar 3 Milyar Rupiah, dan BPJS kami bayarkan kurang lebih sebesar 300 Juta Rupiah,” papar Duke.
Menurut Duke, pada tahun 2013, perusahaan mendapatkan Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), di Kabupaten Minahasa Tenggara. Pada tahun 2020 terjadi pandemi Covid-19, seluruh direksi sementara kembali ke China, sehingga kekosongan manajemen dimanfaatkan karyawan melakukan ilegal mining.
“Kegiatan ini sempat ditertibkan oleh aparat pada Bulan Februari 2022 dengan adanya laporan dari Arny Kumolontang, oknum yang mengaku mewakili perusahaan PT. BLJ. Tanpa pemberitahuan pada pihak direksi, Arny Kumolontang dkk bertindak menertibkan PETI rakyat. Arny mengaku sebagai pemilik tanah, padahal PT. BLJ lahannya memiliki ijin IPPKH, artinya lahan tersebut milik negara. Kemudian masuklah alat berat dalam jumlah yang banyak ke lokasi PT. BLJ tanpa pemberitahuan ke direksi dan pemegang saham mayoritas. Padahal RKAB dan KTT sedang dalam proses,” tambah Duke pada media.
Kemudian menurut Duke, penambangan dengan alat berat tersebut ditantang oleh masyarakat yang sebelumnya melakukan penambangan secara manual. Menurut masyarakat, aktifitas tambang yang mengaku dari perusahaan PT. BLJ juga ilegal dan tidak memiliki izin.
“Sempat ada keributan besar dengan masyarakat saat masyarakat tahu PT. BLJ bukan milik Arny, melainkan PMA Poly Mining sebagai pemilik saham mayoritas. Sehingga masyarakat berontak bahwa Arny dkk juga sama dengan mereka pelaku Ilegal Mining, kemudian Arny dkk tidak bisa bekerja. Nah, saat itulah terjadi mediasi dan pembagian lahan terhadap masyarakat dan aliansi lingkar tambang sebagai koordinator ilegal mining rakyat,” jelas Duke Arie.
Duke mengaku, pihaknya sebagai investor yang beritikad baik untuk melakukan usaha secara benar, telah dirampok oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
“Atas kejadian dugaan perbuatan melawan hukum tersebut, saya selaku kuasa hukum PT. BLJ melaporkan ke Polda Sulawesi Utara pada tanggal 11 Juni 2022, namun sayangnya laporan kami tidak diterima dengan berbagai alasan. Anehnya 5 hari setelah kami tidak berhasil melaporkan kegiatan PETI tersebut, tiba-tiba Polda melakukan penandatanganan MoU dengan oknum yang mengaku dari pihak PT. BLJ, belakangan diketahui pihak PT. BLJ tersebut diwakili oleh Arny Christian Kumolontong sebagai Komisaris. Padahal menurut Akta Pendirian Perusahaan PT. BLJ dan menurut UU Perseroan Terbatas komisaris tidak dapat mewakili perusahaan, dan tidak dapat bertindak sendiri tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Artinya MoU ini dilakukan oleh pihak yang tidak berhak, dan materi MoU ini pun untuk memberikan pengamanan atas kegiatan PETI yang melanggar hukum dan seharusnya ditindak tegas,” jelas Duke Arie yang juga Bendahara Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ini.
“Kami sangat kaget dengan MoU ini dan merasa keberatan, sebab proses perijinan belum selesai, dan seharusnya tidak bisa melakukan penambangan, tapi kok kegiatan PETI dilindungi melalui MoU dengan Polda Sulawesi Utara. Ada apa ini?,” tanya Duke heran.
Duke menambahkan, hal janggal lainnya yang dilakukan oleh Arny Christian Kumolontong yang mengatasnamakan perusahaan tanpa sepengetahuan dereksi dan dewan komisaris adalah melakukan akses ke Minerba (ePNBP) dengan menggunakan email pribadi. Seyognya, menurut Duke, seorang Komisaris tidak berhak melakukan itu.
Atas kejadian tersebut, akhirnya pihak PT. Bangkit Limboga Jaya melalui kuasa hukumnya melaporkan ke Kemenko Polhukam, untuk mendapatkan keadilan atas dugaan penjarahan secara besar-besaran tersebut.
“Laporan kami tersebut kemudian ditindaklanjuti di Kemenko Polhukam dengan memanggil sejumlah pihak pada tanggal 1 Juli 2022 di Kantor Kemenko Polhukkam. Adapun pihak yang hadir adalah dari Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kemintrian Lingkungan Hidup, Dirjen Penegakan Hukum LHK, Dirjen Minerba Kementrian ESDM yang diwakili oleh Hendra Gunawan, Dirkrimsus Polda Sulawesi Utara yang diwakili oleh Wadirkrimsus, dan Inspemtur Tambang Provinsi Sulawesi Utara Ibu Haderia,” jelas Duke.
Dalam rapat tersebut, menurut Duke, terungkap bahwa ternyata banyak penambangan ilegal atau PETI di wilyah Kecamatan Ratatotok termasuk dilokasi IUP PT. BLJ. Hal yang sama juga disampaikan Hendra Gunawan dari ESDM yang menyatakan bahwa penambangan dilokasi IUP OP PT. BLJ belum ada penetapan FS, RKAB, dan Jaminan Reklamasi (JAMREK), sehingga kegiatan tersebut merupakan penambangan ilegal atau dikenal dengan istilah PETI.
“Rapat Koordinasi di Kemenko Polhukam tersebut dipimpin oleh Asisten Deputi V Bidang Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara Brigjen Drs. Asep Jaenal Ahmadi, SH.,MH. Hasil rapat tersebut akan menjadi rekomendasi tindakan apa yang akan diambil tentunya berdasarkan aturan hukum yang berlaku,” ujar Duke sembari menjelaskan dalam rapat tersebut meminta untuk segera dilaporkan kegiatan penabangan ilegal tersebut ke Bareskrim Mabes Polri karena kegiatan penjarahan kekayaan negara tersebut sudah sangat masiv.
“Kemudian kami membuat laporan ke Bareskrim terkait adanya penambangan ilegal (PETI) di lokasi IUP OP kami. Dari laporan ini kami mohon untuk segera ditertibkan dan dilakukan pengamanan atau police line agar kegiatan PETI tersebut dihentikan dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya diproses secara hukum. Sebab kami menduga kegiatan PETI tersebut telah diorganisir sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab dengan melibatkan sejumlah oknum Aparat Penegak Hukum untuk melindungi kegiatan tersebut, sehingga terkesan dibiarkan bahkan dilindungi seolah-olah penambangan yang legal. Kami menduga ada oknum Mafia Tambang yang bermain untuk menjarah di lokasi IUP OP kami, menjarah kekayaan negara untuk kepentingan para Mafia Tambang tersebut,” pungkas Duke. (A1)